TULISAN 4
Bisnis online merupakan sebuah
kegiatan bisnis yang dilakukan secara online dengan menggunakan perangkat
komputer yang tersambung ke jaringan internet. Perangkat komputer ini bisa saja
desktop, nettop, notebook, netbook, ataupun smartphone. Intinya adalah kegiatan
bisnis yang memanfaatkan jaringan internet.
Bisnis
Online semakin marak bak jamur dimusim penghujan, tiap hari bermunculan
berbagai macam tawaran bisnis dan penawaran produk secara online, baik melalui
Social media seperti facebook, twitter, Google+ dan juga melalui Iklan di
banyak halaman website. Tidak bisa dipungkiri pertumbuhan pengguna internet
sangat cepat di dunia, Milliaran orang memanfaatkan internet setiap hari, Ada
yang sekedar untuk mencari hiburan dan eksis si jejaring sosial, namun
juga banyak yang memang mencari informasi yang dibutuhkan untuk pendidikan dan
pekerjaan.
Hal ini
membuka peluang bagi para penipu untuk melakukan modusnya. Dengan menjual
barang barang dengan harga yang lebih murah dari barang aslinya membuat parah
konsumen tergiur untuk melakukan transaksi.
Dengan
banyaknya penipuan jual beli online yang terjadi di indonesia. Maka kali ini
kita membahas beberapa hal yang berkaitan dengan penipuan jual beli barang
online yang diantara lainnya:
1.
Modus
Penipuan Jual Beli Barang Online di indonesia
2.
Hukum
Bagi Penipuan Jual Beli Barang Online
3.
Beberapa
kasus yang telah tertangkap dalam Penipuan Jual Beli Barang Online
4.
Tips
Terhindar Penipuan Jual Beli Barang Online
Penipuan Jual Beli Online Di Indonesia
Ada
berbagai modus penipuan yang marak terjadi dalam bisnis jual beli secara
online. Berikut modus-modus penipuan jual beli online yang patut kita
waspadai :
Pelaku
kriminal biasanya mengaku berdomisili di Batam. Batam merupakan salah satu
kota di Indonesia yang berbatasan langsung dengan Singapura. Dengan mengaku
berdomisili atau beralamat di Batam, maka khalayak akan percaya bahwa pelaku
benar-benar menjual barang dengan murah karena bisa saja barang tersebut merupakan
BM (Black Market) yang tidak dikenai bea import.
Mengaku
jika memiliki saudara atau keluarga yang bekerja di bea cukai. Ini modus
yang sering dipakai oleh para pelaku cyber crime. Modus operasinya biasanya
dengan cara meng-hack id seseorang pada situs jejaring sosial. Kemudian mengaku
jika memiliki saudara yang bekerja di bea cukai, sehingga bisa mendapatkan
barang-barang tanpa bea import (hampir mirip dengan modus pertama).
Pelaku
kriminal hanya mencantumkan nomer Hand Phone (HP). Setelah berhasil meng-hack
akun seseorang, lantas pelaku kriminalitas akan melakukan promosi berbagai
barang dengan harga sangat murah. Pasti banyak yang tertarik sehingga pelaku
selanjutnya mengarahkan calon korban untuk memesan barang-barang tersebut
melalui inbox pada situs jejaring sosial (biasanya facebook). Dari sinilah
pelaku akan memberikan nomer HP yang bisa dihubungi. Jangan harap anda akan
mendapatkan nomer HP teman anda, karena akun tsb sudah dikuasai hacker.
Begitupun dengan yang memakai situs palsu. Penggunaan nomer HP dipilih pelaku
kriminalitas karena kartu perdana sangat mudah didapatkan, dan bisa gonta ganti
kapan saja, sehingga sulit dilacak.
Pelaku
akan memamerkan berbagai bukti pengiriman barang. Ini adalah modus klasik
para pelaku cyber crime. Pada situs palsu mereka atau akun jejaring sosial
mereka (baik mereka bikin sendiri maupun meng-hack akun orang lain), akan
mengupload bukti-bukti pengiriman barang dari berbagai jasa pengiriman. Ini
dimaksudkan agar calon korban yakin bahwa pelaku benar-benar sering mengirimkan
barang ke beberapa pembeli.
Sistem
pembayaran melalui ATM atas nama berbagai nama. Ini juga patut dicermati.
Untuk memuluskan kriminalitas mereka, biasanya pelaku akan menawarkan berbagai
kemudahan pembayaran. Kita bisa mentransfer harga barang yang kita beli ke
berbagai rekening bank, dengan nama berbeda-beda. Bahkan nama yang tercantum
dalam rekening yang dimaksud, tidak ada nama pegawai yang nomer HPnya bisa kita
hubungi.
Hukum Dalam Transaksi Online
Penipuan
secara online pada prinisipnya sama dengan penipuan konvensional. Yang
membedakan hanyalah pada sarana perbuatannya yakni menggunakan Sistem
Elektronik (komputer, internet, perangkat telekomunikasi). Sehingga secara
hukum, penipuan secara online dapat diperlakukan sama sebagaimana delik
konvensional yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Dasar
hukum yang digunakan untuk menjerat pelaku penipuan saat ini adalah Pasal 378
KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:
"Barang
siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan
piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4
tahun."
Sedangkan,
jika dijerat menggunakan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (“UU ITE”), maka pasal yang dikenakan adalah Pasal 28 ayat (1), yang
berbunyi sebagai berikut:
(1)
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Ancaman
pidana dari pasal tersebut adalah penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp1 miliar (Pasal 45 ayat [2] UU ITE). Lebih jauh, simak
artikel Pasal Untuk Menjerat Pelaku Penipuan Dalam Jual Beli Online. Untuk
pembuktiannya, APH bisa menggunakan bukti elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagai perluasan bukti sebagaimana Pasal 5 ayat (2) UU ITE, di samping bukti
konvensional lainnya sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Bunyi Pasal 5 UU ITE:
(1)
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2)
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah
sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia
Sebagai
catatan, beberapa negara maju mengkategorikan secara terpisah delik penipuan
yang dilakukan secara online (computer related fraud) dalam ketentuan khusus
cyber crime. Sedangkan di Indonesia, UU ITE yang ada saat ini belum memuat
pasal khusus/eksplisit tentang delik “penipuan”. Pasal 28 ayat (1) UU ITE saat
ini bersifat general/umum dengan titik berat perbuatan “penyebaran berita
bohong dan menyesatkan” serta pada “kerugian” yang diakibatkan perbuatan
tersebut. Tujuan rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE tersebut adalah untuk
memberikan perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingan konsumen. Perbedaan
prinsipnya dengan delik penipuan pada KUHP adalah unsur “menguntungkan diri
sendiri” dalam Pasal 378 KUHP tidak tercantum lagi dalam Pasal 28 ayat (1) UU
ITE, dengan konsekuensi hukum bahwa diuntungkan atau tidaknya pelaku penipuan,
tidak menghapus unsur pidana atas perbuatan tersebut dengan ketentuan perbuatan
tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Dasar hukum:
1.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No
73)
2.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
3.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
SUMBER:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar