Kamis, 14 November 2013

BISNIS ONLINE


TULISAN 4
Bisnis online merupakan sebuah kegiatan bisnis yang dilakukan secara online dengan menggunakan perangkat komputer yang tersambung ke jaringan internet. Perangkat komputer ini bisa saja desktop, nettop, notebook, netbook, ataupun smartphone. Intinya adalah kegiatan bisnis yang memanfaatkan jaringan internet.

Bisnis Online semakin marak bak jamur dimusim penghujan,  tiap hari bermunculan berbagai macam tawaran bisnis dan penawaran produk secara online, baik melalui Social media seperti facebook, twitter, Google+ dan juga melalui Iklan di banyak halaman website. Tidak bisa dipungkiri pertumbuhan pengguna internet sangat cepat di dunia, Milliaran orang memanfaatkan internet setiap hari, Ada yang sekedar untuk mencari hiburan dan  eksis si jejaring sosial, namun juga banyak yang memang mencari informasi yang dibutuhkan untuk pendidikan dan pekerjaan.
Hal ini membuka peluang bagi para penipu untuk melakukan modusnya. Dengan menjual barang barang dengan harga yang lebih murah dari barang aslinya membuat parah konsumen tergiur untuk melakukan transaksi.
Dengan banyaknya penipuan jual beli online yang terjadi di indonesia. Maka kali ini kita membahas beberapa hal yang berkaitan dengan penipuan jual beli barang online yang diantara lainnya:
1.     Modus Penipuan Jual Beli Barang Online di indonesia
2.     Hukum Bagi Penipuan Jual Beli Barang Online
3.     Beberapa kasus yang telah tertangkap dalam Penipuan Jual Beli Barang Online
4.     Tips Terhindar Penipuan Jual Beli Barang Online

Penipuan Jual Beli Online Di Indonesia

Ada berbagai modus penipuan yang marak terjadi dalam bisnis jual beli secara online.  Berikut modus-modus penipuan jual beli online yang patut kita waspadai :
Pelaku kriminal biasanya mengaku berdomisili di Batam. Batam merupakan salah satu kota di Indonesia yang berbatasan langsung dengan Singapura. Dengan mengaku berdomisili atau beralamat di Batam, maka khalayak akan percaya bahwa pelaku benar-benar menjual barang dengan murah karena bisa saja barang tersebut merupakan BM (Black Market) yang tidak dikenai bea import.
Mengaku jika memiliki saudara atau keluarga yang bekerja di bea cukai. Ini modus yang sering dipakai oleh para pelaku cyber crime. Modus operasinya biasanya dengan cara meng-hack id seseorang pada situs jejaring sosial. Kemudian mengaku jika memiliki saudara yang bekerja di bea cukai, sehingga bisa mendapatkan barang-barang tanpa bea import (hampir mirip dengan modus pertama).
Pelaku kriminal hanya mencantumkan nomer Hand Phone (HP). Setelah berhasil meng-hack akun seseorang, lantas pelaku kriminalitas akan melakukan promosi berbagai barang dengan harga sangat murah. Pasti banyak yang tertarik sehingga pelaku selanjutnya mengarahkan calon korban untuk memesan barang-barang tersebut melalui inbox pada situs jejaring sosial (biasanya facebook). Dari sinilah pelaku akan memberikan nomer HP yang bisa dihubungi. Jangan harap anda akan mendapatkan nomer HP teman anda, karena akun tsb sudah dikuasai hacker. Begitupun dengan yang memakai situs palsu. Penggunaan nomer HP dipilih pelaku kriminalitas karena kartu perdana sangat mudah didapatkan, dan bisa gonta ganti kapan saja, sehingga sulit dilacak.
Pelaku akan memamerkan berbagai bukti pengiriman barang. Ini adalah modus klasik para pelaku cyber crime. Pada situs palsu mereka atau akun jejaring sosial mereka (baik mereka bikin sendiri maupun meng-hack akun orang lain), akan mengupload bukti-bukti pengiriman barang dari berbagai jasa pengiriman. Ini dimaksudkan agar calon korban yakin bahwa pelaku benar-benar sering mengirimkan barang ke beberapa pembeli.
Sistem pembayaran melalui ATM atas nama berbagai nama. Ini juga patut dicermati. Untuk memuluskan kriminalitas mereka, biasanya pelaku akan menawarkan berbagai kemudahan pembayaran. Kita bisa mentransfer harga barang yang kita beli ke berbagai rekening bank, dengan nama berbeda-beda. Bahkan nama yang tercantum dalam rekening yang dimaksud, tidak ada nama pegawai yang nomer HPnya bisa kita hubungi.


Hukum Dalam Transaksi Online

Penipuan secara online pada prinisipnya sama dengan penipuan konvensional. Yang membedakan hanyalah pada sarana perbuatannya yakni menggunakan Sistem Elektronik (komputer, internet, perangkat telekomunikasi). Sehingga secara hukum, penipuan secara online dapat diperlakukan sama sebagaimana delik konvensional yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Dasar hukum yang digunakan untuk menjerat pelaku penipuan saat ini adalah Pasal 378 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun."

Sedangkan, jika dijerat menggunakan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”), maka pasal yang dikenakan adalah Pasal 28 ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

Ancaman pidana dari pasal tersebut adalah penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar (Pasal 45 ayat [2] UU ITE). Lebih jauh, simak artikel Pasal Untuk Menjerat Pelaku Penipuan Dalam Jual Beli Online. Untuk pembuktiannya, APH bisa menggunakan bukti elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagai perluasan bukti sebagaimana Pasal 5 ayat (2) UU ITE, di samping bukti konvensional lainnya sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bunyi Pasal 5 UU ITE:
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia
Sebagai catatan, beberapa negara maju mengkategorikan secara terpisah delik penipuan yang dilakukan secara online (computer related fraud) dalam ketentuan khusus cyber crime. Sedangkan di Indonesia, UU ITE yang ada saat ini belum memuat pasal khusus/eksplisit tentang delik “penipuan”. Pasal 28 ayat (1) UU ITE saat ini bersifat general/umum dengan titik berat perbuatan “penyebaran berita bohong dan menyesatkan” serta pada “kerugian” yang diakibatkan perbuatan tersebut. Tujuan rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE tersebut adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingan konsumen. Perbedaan prinsipnya dengan delik penipuan pada KUHP adalah unsur “menguntungkan diri sendiri” dalam Pasal 378 KUHP tidak tercantum lagi dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE, dengan konsekuensi hukum bahwa diuntungkan atau tidaknya pelaku penipuan, tidak menghapus unsur pidana atas perbuatan tersebut dengan ketentuan perbuatan tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)
2.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
3.      Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik


SUMBER:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar